Senin, 09 Februari 2009

Assesmen Konvebsional

ASESMEN KONVENSIONAL

Dari hasil pengamatan di lapangan (terutama terhadap pembelajaran matematika), proses penilaian yang dilakukan selama ini semata-mata hanya menekankan pada penguasaan konsep yang dijaring dengan tes tertulis obyektif dan subyektif sebagai alat ukurnya. Hal ini didukung oleh penelitian Nuryani, dkk (dalam Mulyana, 2005) yang mengemukakan bahwa pengujian yang dilakukan selama ini baru mengukur pengusaan materi saja dan itu pun hanya meliputi ranah kognitif tingkat rendah. Keadaan semacam ini merupakan salah satu penyebab guru enggan melakukan kegiatan pembelajaran yang memfokuskan pada pengembangan keterampilan proses anak. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan umumnya hanya terpusat pada penyampaian materi dalam buku teks. Keadaan faktual ini mendorong siswa untuk menghapal pada setiap kali akan diadakan tes harian atau tes hasil belajar. Padahal untuk anak jenjang sekolah dasar yang harus diutamakan adalah bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis anak terhadap suatu masalah.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran ini, tampaklah pada kita akan pentingnya penyelenggaraan kegiatan evaluasi. Evaluasi merupakan kegiatan yang tidak terelakkan dalam setiap kegiatan atau proses pembelajaran. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki kemampuan menyelenggarakan evaluasi. Guru akan dianggap memiliki kualifikasi kemampuan mengevaluasi, apabila guru mampu menjawab mengapa, apa, dan bagaimana evaluasi dalam kegiatan pembelajaran atau pendidikan.
B. Perkembangan Asesmen Konvensional
Perkembangan konsep-konsep asesmen (penilaian) yang berhubungan erat dengan konsep pendidikan.
• Keadaan sebelum 1930
Konsep pengukuran: Penilaian dan pengukuran adalah 2 hal yang tidak terpisahkan; kegiatan penilaian diarahkan pada upaya memeriksa perbedaan-perbedaan individual siswa; hubungan antara penilaian dan kurikulum/sistem pendidikan tidak ada; orientasinya pada pengembangan alat uji yang objektif dan baku
• Keadaan antara 1930-1960
Konsep Tyler (oleh Ralph W. Tyler): Kegiatan penilaian mulai dihubungkan dengan upaya perbaikan kurikulum/sistem pendidikan; penilaian berfungsi untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan telah atau belum dicapai
• Keadaan setelah 1960
Konsep baru (oleh Michael Seriven, Robert E. Stake, Daniel L. Stufflebeam):
1. Penilaian tidak hanya diarahkan pada pemeriksaan terhadap tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, melainkan mencakup pula tujuan-tujuan yang tersembunyi;
2. Penilaian tidak dilakukan hanya melalui pengukuran perilaku siswa melainkan juga melalui penkajian langsung terhadap aspek masukan dan proses pendidikan;
3. Penilaian tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan-tujuan telah tercapai melainkan juga untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan tersebut penting untuk dicapai;
4. Tujuan dan objek penilaian cukup luas, cara dan alat penilaian pun cukup beragam

C. Pengertian Asesmen (Penilaian)

Penilaian dilakukan untuk menafsirkan hasil pengukuran dan menentukan pencapaian hasil belajar berdasarkan kriteria tertentu. Umumnya digunakan kategorisasi sepert baik–buruk, benar–salah, sangat setuju–sangat tidak setuju, dan sebagainya.
Davies (dalam Dimyati, 2006:190) mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana dalam memberikan/menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unujuk kerja, proses, orang, objek, dan masih banyak yang lain. Sedangkan Wand dan Brown mengemukakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. (dalam Dimyati, 2006:191). Evaluasi merupakan kegiatan penentuan nilai/pencapaian tujuan suatu program untuk pengambilan keputusan. Evaluasi berkaitan dengan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana dari tujuan pendidikan sudah tercapai. Jadi evaluasi merupakan tindakan untuk menetapkan keberhasilan suatu program pendidikan, termasuk menetapkan keberhasilan peserta didik dalam program pendidikan yang diikuti. Fokus evaluasi adalah keberhasilan program atau kelompok peserta didik sesuai dengan program yang diikuti.
Sedangkan asesmen atau penilaian dalam pembelajaran merupakan suatu proses atau upaya formal pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variabel-variabel penting pembelajaran sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh guru untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Variabel-variabel penting yang dimaksud sekurang-kurangya meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap siswa dalam pembelajaran yang diperoleh guru dengan berbagai metode dan prosedur baik formal maupun informal. Jadi, asesmen adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja seseorang yang hasilnya akan digunakan untuk evaluasi. Fokus asesmen adalah pencapaian hasil atau prestasi belajar peserta didik. Informasi pencapaian hasil atau prestasi belajar peserta didik diperoleh dengan menggunakan berbagai bentuk dan alat pengukuran dan non pengukuran atau tes dan non tes, formal ataupun non formal. Informasi ini digunakan untuk menggambarkan bentuk profil peserta didik guna menetapkan apakah peserta didik dapat dinyatakan sudah menguasai kompetensi yang ditargetkan atau belum.
Pengertian asesmen atau penilaian di atas selaras dengan makna penilaian yang digariskan dalam Buku Pedoman Penilaian pada kurikulum pendidikan dasar. Dalam buku tersebut tertulis bahwa, penilaian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk memberikan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai (Depdikbud, 1994:3).

D. Tujuan dan Peran Asesmen dalam Pembelajaran
Tujuan utama penggunaan asesmen dalam pembelajaran (classroom assessment) adalah membantu guru dan siswa dalam mengambil keputusan profesional untuk memperbaiki pembelajaran. Menurut Popham (dalam Mulyana, 2005) sebagai seorang guru sangatlah penting untuk memahami asesmen. Ada beberapa alasan mengapa guru harus memahami asesmen, yaitu sebagai berikut.
(1) Mendiagnosa kelebihan dan kelemahan siswa dalam belajar,
(2) Memonitor kemajuan siswa,
(3) Menentukan jenjang kemampuan siswa,
(4) Menentukan efektivitas pembelajaran,
(5) Mempengaruhi persepsi publik tentang efektivitas pembelajaran,
(6) Mengevaluasi kinerja guru kelas,
(7) Mengklarifikasi tujuan pembelajaran yang dirancang guru
Setiap penggunaan asesmen atau penilaian dicirikan oleh hal-hal berikut:
1) Menuntut siswa untuk merancang, membuat, menghasilkan, mengunjukkan atau melakukan sesuatu;
2) Memberi peluang untuk terjadinya berpikir kompleks dan/atau memecahkan masalah;
3) Menggunakan kegiatan-kegiatan yang bermakna secara instruksional;
4) Menuntut penerapan yang autentik pada dunia nyata;
5) Penskoran lebih didasarkan pada pertimbangan manusia yang terlatih daripada mengandalkan mesin. Untuk memperoleh asesmen dengan standar tinggi, maka penggunaan asesmen harus: relevan dengan standar atau kebutuhan hasil belajar siswa; adil bagi semua siswa; akurat dalam pengukuran; berguna; layak dan dapat dipercaya. (Herman dalam Mulyana, 2005)
Agar penggunaan asesmen dalam kelas sesuai dengan pembelajaran dan dapat meningkatkan pembelajaran tersebut Cottel (dalam Mulyana, 2005) menggagaskan 5 petunjuk bagi guru penggunaan asesmen dalam kelas. Kelima petunjuk tersebut adalah: pertama, senantiasa menganggap bahwa pembelajaran terus berlangsung; kedua, selalu meminta siswa untuk menunjukkan bukti-bukti bagaimana mereka belajar; ketiga, memberi siswa umpan balik tentang respon kelas serta rencana pengajar tentang respon tersebut; keempat, melakukan penyesuaian-penyesuaian yang tepat untuk meningkatkan pembelajaran; dan kelima, menilai ulang bagaimana penyesuaian-penyesuaian tersebut bekerja cukup baik.
Asesmen memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Asesmen dapat memberikan bantuan yang sangat berarti bagi tercapainya tujuan pembelajaran. Berikut ini adalah fungsi asesmen terhadap pembelajaran:
1. Meningkatkan motivasi belajar siswa
2. Meningkatkan daya transfer hasil belajar
3. Membantu siswa untu melakukan asesmen diri sendiri (self asessment)
4. Membantu mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran
Dalam melakukan suatu penilaian memiliki suatu tujuan yakni untuk melihat penguasaan suatu materi atau bahan, keberhasilan belajar, keterampilan tertentu, kemajuan belajar, dan semacamnya, dan bahkan untuk menilai sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya sikap siswa dalam belajar matematika (Ruseffendi, 1991 ). Tujuan penilaian tidak bisa lepas dari tujuan pendidikan nasional, dikarenakan tujuan penilaian berkaitan dengan tujuan instruksional khusus. Tujuan instruksional khusus adalah jabaran dari tujuan instruksional umum. Sedangkan tujuan instruksional umum terkait dengan tujuan kurikuler, dan seterusnya sampai dengan keterkaitannya dengan tujuan nasional.

E. Jenis Penilaian
I. Berdasarkan tujuan penilaian, ada 3 macam penilaian yaitu formatif, sumatif, dan diagnostik
Penilaian diagnostik digunakan untuk menentukan karakteristik pembelajaran dari siswa secara individu, seperti kepemilikan kemampuan prasyarat, penguasaan objek atau konsep, dan sebab utama kesulitan belajar siswa. Penilaian formatif digunakan saat siswa sedang belajar atau mempelajari materi baru untuk menemukan pola kesalahan siswa, memberi informasi kemajuan belajar, merencanakan program remidiasi, dsb yang kesemuanya ini difokuskan untuk efektivitas pembelajaran yang sedang berlangsung. Penilaian Sumatif digunakan setelah siswa menyelesaikan pembelajaran topik/unit tertentu dan dimanfaatkan untuk menerangkan hasil belajar mahasiswa, memutuskan tingkat efektivitas pembelajaran, menilai metode/pendekatan pembelajaran dan kurikulum yang dibelajarkan.
II. Berdasarkan alat penilaian, ada 2 macam penilaian, yaitu tes dan non-tes
1. Tes
Tes adalah sekumpulan soal atau pertanyaan yang dipakai untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, kemampuan, atau intelegensi perorangan atau kelompok (Rusefendi, 1991). Sementara Sudjana (2004) menyatakan bahwa tes adalah alat ukur yang diberikan kepada individu untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang diharapkan baik secara tertulis atau secara lisan atau secara perbuatan. Tes menghasilkan suatu bilangan yang dapat dipakai untuk mengelompokkan, menilai, atau yang semacamnya bagi orang yang menempuh tes tersebut. Karena itu, hasil tes dipakai sebagai generalisasi pengetahuan, dan sebagainya dari seseorang atau kelompok, maka semestinya tes itu adalah sampel yang representatif dan baik.

a. Jenis Tes
1) Tes dengan bentuk dan jawaban berbeda
Tes dengan bentuk jawaban berbeda adalah tes tertulis, lisan, perbuatan, dan penampilan. Tes matematika umumnya tes tulis. Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:
Keunggulan tes tulis Kelemahan tes tulis
• Penyelenggaraannya dapat dilaksanakan bersama-sama sekaligus
• Pertanyaan-pertanyaannya sudah terarah dengan baik
• Materinya sedapat mungkin telah terliput
• Tingkat kesukarannya sudah sesuai dengan yang diharapkan (proporsional antara soal-soal yang mudah, sedang dan sukar)
• Jawaban siswa sudah dijamin akan konsisten • Memerlukan waktu dalam pemeriksaan sekalipun dengan soal tipe objektif
• Adanya peluang bagi yang diuji untuk mencontoh (bekerjasama)

Tes lisan diadakan untuk menghilangkan keraguan penilaian. Maksudnya ialah dalam tes tulisan mungkin saja jawaban siswa itu tidak lengkap, kurang terarah, sebagian hasil jiplakan, sebagian dari pengetahuan dan kemampuannya tidak terungkapkan karena tidak ditanya, dan sebagainya. Sehingga nilai tes tulis setelah diadakan tes lisan dapat diluruskan. Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:
Keunggulan tes lisan Kelemahan tes lisan
• Nilai tes tulis setelah diadakan tes lisan dapat diluruskan
• pada bidang studi lain misalnya bahasa inggris, tidak hanya untuk pelurusan nilai tulisan, tetapi untuk menilai kemampuan tertentu yang melalui tes tulis belum terungkapkan; kemahiran membaca dan mengemukakan pendapat • Jika penguji tidak menyiapkan diri secara matang.
• Penguji tidak bisa lepas dari subjektifitas dan kondisi penilai

• Adanya godaan bagi penilai untuk membantu

Bila melalui penilaian tulisan dan lisan itu masih ada yang belum terungkapkan, tes perbuatan dan atau tes penampilan sering diadakan. Pada matematika tes perbuatan itu misalnya; dalam penggunaan jangka, busur, dan alat ukur lainnya untuk melakukan lukisan dan meggambar. Tes penampilan ialah tes tentang kebolehan seseorang untuk menunjukkan tampang dan kemampuan dalam berpidato, berceramah, mengajar dan semacamnya. Dalam pelajaran matematika tes penampilan dapat dikatakan tidak ada, yang ada hanya bagi gurunya.

2) Tes dengan pembuatnya berbeda
Tes dengan pembuatnya berbeda dapat berupa soal tes buatan guru, tes baku, dan soal-soal dalam buku pelajaran. Tes baku ialah tes yang telah dibuat oleh para ahli yang keabsahannya tidak disangsikan lagi. Sedangkan tes buatan guru biasanya sama dengan soal-soal dalam buku pelajaran. Sehingga baik tidaknya soal tes buatan guru itu baru menurut perkiraan dan validitas isinya baru pada validitas luar.



3) Tes dengan sasaran berbeda
Tes dengan sasaran berbeda dapat berupa tes: formatif, sumatif, diagnostik, kecepatan, kekuatan, kemampuan, penempatan, seleksi, perolehan, inteligensi, pre-tes, pos-tes, EBTANAS, dan tes untuk melihat prosesnya.
Tes kecepatan digunakan untuk melihat kecepatan seseorang dalam menyelesaikan sesuatu. Tes kekuatan digunakan untuk menyelesaikan soal-soal yang sukar dalam tes dengan diberikan waktu yang sangat leluasa (misanya soal dapat dikerjakan dirumah atau boleh dengan membuka buku ketika ujian). Tes kemampuan digunakan untuk melihat kemampuan seseorang dalam studi untuk jenjang tertentu, misalnya tes untuk mengambil gelar doktor. Tes seleksi digunakan untuk menjaring sejumlah calon dengan tempat yang tersedia terbatas. Pre-tes dan pos-tes digunakan untuk melihat kemajuan siswa belajar dan sekaligus untuk melihat keberhasilan guru mengajar suatu satuan pelajaran. Pre tes diberikan sebelum siswa memperoleh pelajaran, sedangkan pos tes sesudahnya. Tes perolehan digunakan untuk mengukur keberhasilan belajar siswa untuk waktu yang lebih lama, misalnya pada saat kenaikan kelas atau pada saat EBTANAS. Tes penempatan digunakan untuk menempatkan siswa pada tingkat kelas, sesuai dengan kemampuannya. Tes intelegensi berkenaan dengan ramalan keberhasilan belajar seseorang dikemudian hari. Tes intelegensi ini mengetes pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sebagainya yang dimiliki seseorang.

b. Tipe dan Bentuk Tes
Terdapat dua tipe tes yaitu : tes uraian (essay) dan tes objektif.

1) Tes Uraian (essay)
Soal-soal tes uraian pada umumnya ada pada buku pelajaran dan soal tes uraian berupa soal yang masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut penguraian sebagai jawaban. Dalam soal uraian siswa diminta untuk merumuskan, mengorganisasikan dan menyajikan jawabannya dalam bentuk uraian. Soal-soal bentuk uraian, jika direncanakan dengan baik, sangat tepat untuk menilai proses berpikir seseorang serta kemampuannya mengekspresikan buah pikiran. Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:
Keunggulan Tes Uraian Kelemahan Tes Uraian
• Relatif lebih mudah penyusunannya
• Menimbulkan sifat kreatif pada diri siswa
• Proses siswa ketika menjawab soal-soal itu akan tampak
• Tidak memberi kesempatan siswa untuk berspekulasi
• Memberi motivasi siswa untuk mengemukakan pendapat dengan bahasanya sendiri
• Dapat mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu materi • Memeriksa hasil tes relatif sulit dan memerlukan waktu yang lebih lama
• Dalam penilaian mudah dipengaruhi unsur subjektivitas dari penilai
• Kurang representatif dalam mewakili materi pelajaran, karena hanya terdiri dari beberapa butir soal

• Pemeriksanya hanya dapat dilakukan oleh ahlinya

2) Tes Objektif
Tes objektif adalah tes yang telah disediakan pilihan jawabannya. Tes objektif merupakan tipe yang sangat populer di dalam penilaian hasil belajar. Hal ini disebabkan antara lain oleh luasnya bahan pelajaran yang dapat dicakup dalam tes dan mudahnya pengoreksian terhadap jawaban yang diberikan. Macam-macam tes objektif tergantung kepada bentuknya; bentuk B-S (benar-salah), bentuk pilihan banyak, bentuk isian dan bentuk memasangkan (menjodohkan).
Tes tipe objektif ada bermacam-macam, yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Bentuk Benar-Salah
Tes benar salah adalah suatu bentuk tes yang soal-soalnya berupa pernyataan (Sudjana, 2004:264). Sebagian dari pernyataan itu merupakan pernyataan yang benar dan sebagian lain merupakan pernyataan yang salah. Tes ini merupakan tes yang butir pertanyaannya (pernyataannya) dijawab dengan memilih salah satu pilihan jawaban yaitu B (Benar) atau S (Salah). Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:

Keunggulan tes bentuk benar-salah Kelemahan tes bentuk benar-salah
• Dapat dipakai untuk berbagai bidang studi dan keadaan
• Waktu tes relatif singkat
• Materi yang diwakili oleh soal-soal yang ditanyakan bisa banyak sekali. • Kebenaran pernyataan itu diragukan (ambiguity)
• Penggunaannya terbatas
• Faktor terka menerka.

Beberapa saran dalam menyusun tes bentuk benar-salah diantaranya adalah: pernyataan harus jelas benar atau salah, hindari penentu spesifik misalnya semua dan tidak pernah, hindari pernyataan negatif, dan gunakan kalimat sederhana. Secara teknis disarankan untuk membuat jumlah butir yang cukup banyak, soal benar dan salah seimbang, dan urutan soal tidak berpola.

b. Bentuk Pilihan Banyak
Dalam tes bentuk pilihan banyak, siswa diminta untuk memilih jawaban yang benar dari jawaban yang disediakan. Soal bentuk pilihan banyak sering digunakan, terutama untuk matematika.
Dilihat dari strukturnya bentuk soal pilihan banyak terdiri atas:
i. Stem :suatu pertanyaan / pernyataan yang berisi permasalahan yang akan ditanyakan
ii. Option :sejumlah pilian/alternatif jawaban
iii. Kunci :jawaban yang benar/paling tepat
iv. Distractor/pengecoh :jawaban-jawaban lain, selain kunci
(Sudjana, 2004:267)

Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:

Keunggulan tes bentuk pilihan banyak Kelemahan tes bentuk pilihan banyak
• Faktor terka-menerka relatif lebih kecil
• Dapat dipakai untuk mengukur berbagai tujuan kurikuler
• Tidak mengandung jawaban yang dapat dimaknakan bermacam-macam. • Siswa dapat memperoleh jawaban yang benar tanpa melakukan sesuai dengan yang diminta
• Bagaimanapun fleksibelnya bentuk ini masih sukar untuk dapat mengungkapkan kemampuan membuktikan, melukis, kreativitas kemampuan membaca, penemuan, pemecahan masalah, dll.

Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menyusunnya adalah: gunakan kalimat positif, hindari kata kunci, hindari hubungan antar butir, dan jawaban diacak.

c. Bentuk Isian (Jawaban Singkat)
Dalam tes objektif bentuk isian, siswa diminta untuk melengkapkan kalimat sehingga menjadi benar. Yang diisikan harus sesingkat mungkin. Tes bentuk jawaban singkat atau isian ini merupakan jenis tes uraian dimana jawaban hanya pendek saja yang ditempatkan diakhir kalimat pernyataan atau ditengah kalimat. Bentuk tes jawaban singkat ini menghendaki jawaban dalam bentuk kata, bilangan, kalimat atau simbol dan jawabannya hanya dapat dinilai benar atau salah. Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:

Keunggulan tes bentuk isian Kelemahan tes bentuk isian
• Faktor terka-menerka kecil
• Penilaian dapat objektif
• Dapat mencakup banyak materi
• Jawaban soal yang ditanyakan dapat tidak ambiguity. • membuat soal yang jawabannya hany sebuah itu sukar
• untuk mengukur proses berpikir yang mendalam dan penalaran sukar.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tes bentuk isian adalah: jawaban harus dibatasi, hanya ada 1 jawaban benar, titik-titik diletakkan diujung kalimat atau ditengah kalimat, nyatakanlah satuannya jika dibutuhkan.

d. Bentuk Memasangkan (Menjodohkan)
Tes Memasangkan merupakan variasi dari tes pilihan ganda. Pada soal bentuk memasangkan, terdapat satu set soal dan jawabannya, siswa diminta untuk memasangkannya. Dalam bentuk yang paling sederhana jumlah soal sama dengan jumlah jawabannya, tetapi sebaiknya jumlah jawaban yang disediakan dibuat lebih banyak daripada soalnya, agar mengurangi kemungkinan siswa menjawab betul dengan hanya menebak. Keunggulan dan kelemahan tes ini dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:

Keunggulan tes memasangkan Kelemahan tes memasangkan
• Waktunya relatif singkat
• Banyak pertanyaan dapat diajukan sehingga dapat mengukur ruang lingkup bahasan yang lebih luas
• Faktor terka-menerka kecil
• Penilaiannya mudah dan objektif. • Sukar untuk menentukan materi/pokok bahasan yang mengukur hal-hal yang berhubungan
• Hanya dapat mengukur hal-hal yang didasarkan pada fakta dan hafalan saja.

Beberapa ketentuan menyusunnya diantaranya adalah : materi sebaiknya homogen, jumlah jawaban lebih banyak dibanding soal, petunjuk jelas, menggunakan simbol yang berlaianan untuk pertanyaan dan jawaban, dan ditulis dalam halaman yang sama.

Berdasarkan uraian di atas, keunggulan dan kelemahan tes tipe objektif secara menyeluruh adalah sebagai berikut:

Keunggulan Tes Objektif Kelemahan Tes Objektif
• Lebih representatif mewakili isi dan banyaknya materi/bahan
• Lebih objektif dalam penilaian
• Lebih mudah dan cepat memeriksanya
• Waktu yang diperlukan untuk memeriksa jawaban siswa relatif singkat
• Pemeriksaan hasil tes dapat dibantu oleh orang lain
• Soal-soal lebih mungkin dapat dipakai ulang • Dibutuhkan persiapan penyusunan tes yang relatif lebih sulit dibandingkan tes uraian
• Proses berpikir anak tidak bisa diukur
• Sifat kreatif siswa akan cenderung menumpul
• Beberapa aspek kemampuan tidak bisa atau sukar diungkapkan
• Banyak kesempatan untuk untung-untungan
• Kerjasama siswa dalam menjawab tes lebih terbuka


2. Non Tes
Non tes adalah sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang digunakan untuk pengumpulan data, data yang dikumpulkan bisa berupa fakta, pendapat, kesan, harapan, sikap, sikap wajar, dan sebagainya, karena tidak semua hasil belajar dapat diukur dengan tes. Data-data itu dapat diperoleh melalui angket, wawancara, dan atau observasi.
a. Angket (Kuesioner)
Angket adalah sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang menyeluruh mengenai sesuatu yang diharapkan terungkapkan (Ruseffendi, 1991). Kalimat dan istilah-istilah yang dipergunakan untuk menyusun pertanyaan atau pernyataan dipilih sebaik mungkin, sopan, sederhana, singkat, jelas dan sebagainya. Angket harus diisi oleh responden untuk mengukur sikap dan pendapatnya tentang sesuatu. Ditinjau dari aspek orang yang menjawab angket (Kuesioner), terdapat dua jenis kuesioner yaitu kuesioner langsung (diisi langsung oleh responden), dan tidak langsung (diisi oleh orang lain yang bukan responden). Ditinjau dari aspek cara menjawab, terdapat dua bentuk kuesioner yaitu Kuesioner tertutup (kuesioner dengan pilihan jawaban lengkap) dan kuesioner terbuka (responden bebas mengemukakan pendapat).
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu metode untuk mendapatkan jawaban dari responden melalui tanya jawab sepihak dan untuk mengetahui lebih lanjut sikap siswa yang sebenarnya, untuk melihat ada tidaknya yang disembunyikan dari jawaban siswa (Ruseffendi, 1991).. Wawancara dilakukan dengan dua cara: wawancara bebas (responden bebas mengemukakan jawabannya) dan wawancara terstruktur (responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang tersedia). Butir soal wawancara pada umumnya disusun dalam bentuk pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis dan berurutan sehingga pewawancara dapat mengambil kesimpulan yang benar berdasarkan hasil wawancara tersebut. Pedoman wawancara merupakan panduan yang tidak mengikat dimana pewawancara dapat juga mengatur sendiri urutan pertanyaan yang diajukannya atau tidak menggunakan atau menanyakan satu butir yang ternyata sudah dijawab secara tidak langsung oleh responden.
c. Observasi
Observasi merupakan suatu teknik penggalian informasi dengan mengamati responden secara teliti dan melakukan pencatatan secara sistematis. Ketika mewawancarai siswa, bisa saja ada sikap siswa yang belum terungkapkan atau jawaban dari sebagian siswa yang mencurigakan, maka observasi dapat dilakukan untuk melihat sikap siswa yang wajar. Observasi sebagai alat pengumpul data banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, misalnya tingkah laku guru ketika mengajar, kegiatan diskusi siswa, penggunaan alat peraga dan lain-lain.
Terdapat 3 macam observasi yaitu: observasi partisipan (pengamat melakukan observasi dengan mengikuti kegiatan responden), observasi sistematik (faktor-faktor yang diamati telah terdaftar sebelumnya dan pengamat berada diluar kegiatan responden), dan observasi eksperimen (pengamat tidak berpartisipasi dalam kegiatan responden tetapi mengendalikan situasi agar sesuai dengan tujuan penilaian). Butir pernyataan untuk pengamatan disusun dalam bentuk Lembaran Pengamatan yang tersusun secara sistematis dan berurutan sehingga hasil pengamatan merupakan kesimpulan yang benar. Berhasil tidaknya observasi sebagai alat pengumpul data bergantung kepada observer atau pengamat, bukan pada pedoman observasi. Oleh sebab itu memilih pengamat yang cakap, mampu dan menguasai segi-segi yang diamati sangat diperlukan.

F. Penyusunan Instrumen Penilaian
Instrumen penilaian yang disebut juga alat penilaian yang akan digunakan, baik itu alat penilaian yang berupa tes maupun non-tes harus diperhatikan cara untuk menyusunnya. Prosedur yang perlu ditempuh untuk menyusun alat penilaian tes dan non-tes adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi sasaran hasil, dengan cara menentukan tujuan instruksional
2. Mengidentifikasi bentuk-bentuk soal
3. Membuat kisi-kisi butir soal
4. Menulis butir soal

G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Dalam melakukan percobaan soal, terdapat beberapa kegiatan yang harus dilakukan, yaitu, melihat valid tidaknya soal-soal, melihat reliabel tidaknya soal-soal, melihat tingkat kesukaran soal, melihat daya pembeda soal, dan melihat faktor pengecoh. Kegiatan seperti itu biasa disebut analisis butiran soal. Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Selanjutnya hasil penelitian yang reliabel, bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel.

1. Validitas Instrumen
Suatu soal atau set soal dikatakan valid apabila soal-soal itu mengukur apa yang semestinya harus diukur. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur itu valid. Sebagai contoh, ketika peneliti ingin mengukur kemampuan siswa dalam matematika. Kemudian diberikan soal dengan kalimat yang panjang dan berbelit-belit sehingga sukar ditangkap maknanya, akhirnya siswa tidak dapat menjawab karena tidak memahami pertanyaannya.
Menentukan validitas suatu asesmen tergantung pada bagaimana anda berencana untuk menggunakannya. Secara lebih tepat, ketika kita berbicara mengenai validitas tes untuk mengidentifikasikan siswa yang memahami pertanyaan linear, kita benar-benar mengacu pada bukti yang kita miliki yang memberitahukan kita bahwa kesimpulan-kesimpulan kita yang berdasarkan skor itu benar. Kita akan terus menggunakan “validitas” sebagai “bukti untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan berdasarkan skor.”
Instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal (rasional) dan eksternal. Instrumen yang mempunyai validitas internal (rasional) bila kriteria yang ada dalam instrumen secara rasional atau teoritis telah mencerminkan apa yang diukur. Jadi, kriterianya ada di dalam instrumen itu. Instrumen yang mempunyai validitas eksternal bila kriteria di dalam instrumen disusun berdasarkan fakta-fakta empiris yang telah ada. Untuk itu penyusunan instrumen yang baik harus memperhatikan teori dan fakta dilapangan.
Validitas itu ada macam-macam, yaitu validitas isi, validitas ramal, validitas dompleng, validitas konstruk, dan validitas banding. Validitas ramal dan dompleng disebut validitas kriteria.
• Validitas isi adalah validitas yang didasarkan kepada isinya. Apabila kita membuat soal untuk siswa SMP maka soal tersebut harus sesuai dengan kurikulum SMP.
• Validitas kriteria adalah validitas yang berkenaan dengan peluang posisi seseorang dikemudian hari atau dalam bidang lain didasarkan kepada skor yang diperoleh melalui instrumen yang kita maksud. Validitas ramal dan validitas dompleng adalah bagian dari validitas kriteria.
• Validitas ramal adalah validitas untuk meramalkan sesuatu, misalnya tes TOEFL dalam bahasa inggris.
• Validitas dompleng ialah validitas yang didasarkan kepada mendomplengnya instrumen yang kita buat kepada instrumen lain yang validitas ramalnya sudah ada.
• Validitas konstruk adalah validitas yang diperoleh melalui penyusunan instrumen yang didasarkan kepada karakteristik subjek yang dituju atau prilaku subjek yang diharapkan.
• Validitas banding adalah validitas yang dimiliki oleh instrumen yang kita buat yang koefisien korelasinya dengan alat ukur yang sudah ada dan yang valid, diketahui tinggi.

2. Reliabilitas Instrumen
Sebelumnya, kita mengenalkan konsep reliabilitas sebagai sesuatu yang berhubungan dengan konsistensi penilaian manusia. Namun, reliabilitas dalam pengertian lebih luas mengacu pada apakah skor-skor tes mendapatkan kembali maknanya (tetap konsisten) walaupun terdapat perubahan-perubahan dangkal dalam situasi asesmen. Tanpa konsistensi tersebut, kita tidak dapat mengatakan dengan meyakinkan bahwa kita mengetahui apa yang dilakukan seorang siswa. Skor tes yang tidak reliabel tidak berguna karena tidak memberitahukan kita sesuatu yang berarti mengenai kinerja siswa. Karena alasan inilah kita harus menjamin bahwa hasil-hasil kita itu reliabel sebelum kita mempertimbangkan validitas, yaitu suatu isu yang paling dekat dengan penggunaan tes. Walaupun reliabilitas itu penting, ini bukanlah kondisi yang cukup untuk validitas yaitu, apakah skor tes menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang akurat mengenai kinerja siswa dan selanjutnya merupakan basis yang dapat diterima untuk keputusan. Hasil tes dapatlah secara sempurna reliabel tetapi tidak sangat relevan dengan keputusan yang diinginkan.
Reliabilitas instrumen adalah ketetapan atau keajegan atau keterandalan instrumen tersebut dalam mengukur apa yang diukurnya. Artinya, kapanpun instrumen itu digunakan tetap memberikan hasil ukur yang sama (Sudjana, 2004). Tes hasil belajar dikatakan reliabel apabila hasil pengukuran saat ini menunjukkan kesamaan hasil pada saat yang berlainan waktunya, terhadap siswa yang sama. Misalnya, siswa diberikan tes matematika pada hari ini dan minggu berikutnya siswa tersebut di tes kembali. Hasil dari kedua tes relatif sama.
Untuk melihat apakah instrumen yang kita buat reliabel atau tidak, kita bisa menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu, yakni:
a. Test-retest
Reliabilitas instrumen yang diuji dengan tes-retest dilakukan dengan cara mencobakan instrumen beberapa kali. Jadi, dalam hal ini instrumennya sama, respondennya sama dan waktunya yang berbeda. Pengujian dengan cara ini sering disebut stability.
b. Ekuivalen
Pengujian dengan cara ekuivalen cukup dilakukan sekali, tetapi instrumennya dua, pada responden yang sama, waktu yang sama, tetapi instrumennya berbeda.
c. Gabungan
Pengujian reliabilitas dengan cara ini dilakukan dengan mencobakan dua instrumen yang ekuivalen itu beberapa kali ke responden yang sama. Jadi, merupakan gabungan dari kedua cara sebelumnya.
d. Internal Consistency
Pengujian reliabilitas dengan cara ini, dilakukan dengan mencobakan instrumen sekali saja, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan tekhnik tertentu.

3. Hubungan validitas dan reliabilitas, serta besarnya r
Tidaklah banyak artinya jika kita dalam menerjemahkan besarnya r kepada tingkat reliabilitas itu tanpa meninjau jenis instrumen, baku tidaknya instrumen, ukuran sampel, dan jenisnya reliabilitas (bagaimana koefisien reliabilitas itu diperoleh).
Reliabilitas instrumen merupakan syarat untuk pengujian validitas instrumen. Oleh karena itu, walaupun instrumen yang valid itu umumnya pasti reliabel, tetapi pengujian reliabilitas tetap perlu dilakukan.

4. Analisis butiran soal
Terdapat tiga faktor yang harus dilihat untuk dapat menentukan apakah butiran soal tertentu itu baik atau tidak. Pertama, tingkat kesukaran. Kesukaran butiran soal ditentukan oleh perbandingan antara banyaknya siswa yang menjawab soal itu benar dan banyaknya siswa yang menjawab butiran soal itu. Kedua, indeks diskriminasi atau daya pembeda adalah korelasi antara skor jawaban terhadap sebuah butiran soal dengan skor jawaban seluruh soal. Ketiga, melihat bagaimana pilihan jawaban lain dipilih oleh kelompok-kelompok itu dibandingkan dengan pilihannya terhadap pilihan yang benar.

H. Penutup
Asesmen memberikan informasi untuk pembuatan keputusan mengenai apa yang telah dipelajari siswa, nilai-nilai apa yang layak mereka dapatkan, apakah siswa harus naik kelas, bantuan apa yang mereka butuhkan, dll. Asesmen yang baik memungkinkan kita untuk secara akurat mengkarakteristikan pemungsian dan kinerja siswa dan membuat keputusan-keputusan bijak yang akan meningkatkan pendidikan. Apakah asesmen memberikan informasi yang akurat untuk pembuatan keputusan? Apakah penggunaan hasil berkontribusi untuk keputusan yang bijak? Ini adalah isu-isu penting dalam menilai kualitas suatu asesmen. Jika kita ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara positif, maka asesmen kita harus valid dan reliabel.
Asesmen dibuat dengan tujuan memberikan informasi untuk membuat keputusan mengenai siswa, dan tujuan-tujuan pendidikan wilayah, dan negara. Jelas bahwa beberapa keputusan mengenai siswa dan sekolah membawa lebih banyak konsekuensi yang serius dibanding yang lain. Semakin tinggi resiko yang berhubungan dengan suatu asesmen, semakin besar kebutuhan untuk mendokumentasikan kualitasnya, yaitu validitas dan reliabilitasnya. Jika suatu asesmen membawa konsekuensi yang serius, maka bukti validitas yang formal untuk tujuan-tujuan yang dimaksudkan itu menjadi penting.
Secara realitas menunjukkan bahwa penilaian atau asesmen yang dilakukan dengan cara konvensional belum mampu mengungkap hasil belajar siswa dari aspek sikap dan proses atau kinerja siswa secara aktual. Oleh karenanya diperlukan penerapan sistem penilaian yang dapat mengungkap kedua aspek tersebut. Sistem penilaian yang diasumsikan dapat memenuhi tuntutan tersebut adalah sistem penilaian yang digagaskan dalam Sistem Penilaian Kelas Kurikulum 2004 atau dalam kurikulum yang disempurnakan dalam kurikulum 2006 (KTSP) yang antara lain meliputi jenis Penilaian Kinerja (Performance Assessment), Penilaian Karya (Product Assessment), Penilaian Penugasan, Penilaian Proyek, dan Penilaian Portfolio. Dari jenis-jenis tersebut tersirat bahwa makna penilaian mencakup hal-hal yang lebih luas dari sekedar penilaian konvensional yang selama ini berlangsung.










DAFTAR PUSTAKA


Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Cole, Peter. G and Chan, Lorna. (1994). Teaching Principles and Practice. Australia: Prentice Hall.

Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.

Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. (2005). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyana, E. Hendi. (2005). Asesmen dalam Pembelajaran Sains SD (Artikel). http://re-searchengines.com/artikel.html. (Online).

Ruseffendi. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa khususnya dalam Pengajaran Matematika. Bandung.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.



Tidak ada komentar: